Você está em:
Início
RITUAL DAN INSTITUSI ISLAM
A. RITUAL DALAM PERSPERTIF SOSIOLOGI
Semua agama mengenal ritual, karena setiap agama memiliki ajaran tentang hal yang sakral. Salah satu tujuan pelaksanaan ritual adalah pemeliharaan dan pelestarian kesakralan. Di samping itu, ritual merupakan tindakan yang memperkokoh hubungan pelaku dengan objek yang suci; dan memperkuat solidaritas kelompok yang menimbulkan rasa aman dan kuat mental. Hampir semua masyarakat yang melakukan ritual keagamaan dilatarbelakangi oleh kepercayaan. Adanya kepercayaan pada yang sakral, menimbulkan ritual. Oleh karena itu, ritual didefinisi¬kan sebagai perilaku yang diatur secara ketat, dilakukan sesuai dengan ketentuan, yang berbeda dengan perilaku sehari-hari, baik cara melakukannya maupun maknanya. Apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan, ritual diyakini akan mendatangkan keber¬kahan, karena percaya akan hadirnya sesuatu yang sakral. Sedang¬kan perilaku profan dilakukan secara bebas.
Dalam analisis, ritual ditinjau dari dua segi: tujuan (makna) dan cara. Dari segi tujuan, ada ritual yang tujuannya bersyukur kepada Tuhan; ada ritual yang tujuannya mendekatkan diri kepada Tuhan agar mendapatkan keselamatan dan rahmat; dan ada yang tujuannya meminta ampun atas kesalahan yang dilakukan?
Adapun dari segi cara, ritual dapat dibedakan menjadi dua: individual dan kolektif. Sebagian ritual dilakukan secara perorangan, bahkan ada yang dilakukan dengan mengisolasi diri dari keramaian, seperti meditasi, bertapa, dan yoga. Ada pula ritual yang dilakukan secara kolektif (umum), seperti khotbah, salat berjamaah, dan haji.
George Homan menunjukkan hubungan antara ritual dan kecemasan. Menurut Homans, ritual berawal dari kecemasan. Dari segi tingkatannya, ia membagi kecemasan menjadi: kecemasan yang bersifat "sangat", yang ia sebut kecemasan primer; dan kecemasan yang biasa, yang ia sebut kecemasan sekunder.
Selanjutnya, Homans menjelaskan bahwa kecemasan primer melahirkan ritual primer; dan kecemasan sekunder melahirkan ritual sekunder. Oleh karena itu, ia mendefinisikan ritual primer sebagai upacara yang bertujuan mengatasi kecemasan meskipun tidak langsung berpengaruh terhadap tercapainya tujuan- dan ritual sekunder sebagai upacara penyucian untuk kompensasi kemungkinan kekeliruan atau kekurangan dalam ritual primer.
Berbeda dengan Homans, C. Anthony Wallace meninjau ritual dari segi jangkauannya, yakni sebagai berikut.
1. Ritual sebagai teknologi, seperti upacara yang berhubungan dengan kegiatanpertanian dan perburuan.
2. Ritual sebagai terapi, seperti upacara untuk mengobati dan mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
3. Ritual sebagai ideologis -mitos dan ritual tergabung untuk mengendalikan suasana perasaan hati, nilai, sentimen, dan perilaku untuk kelompok yang baik. Misalnya, upacara inisiasi yang merupakan konfirmasi kelompok terhadap sta¬tus, hak, dan tanggung jawab yang baru.
4. Ritual sebagai penyelamatan (salvation), misalnya seseorang yang mempunyai pengalaman mistikal, seolah-olah menjadi orang baru; ia berhubungan dengan kosmos yang juga mem¬pengaruhi hubungan dengan dunia profan.
5. Ritual sebagai revitalisasi (penguatan atau penghidupan kembali). Ritual ini sama dengan ritual salvation yang bertu¬juan untuk penyelamatan tetapi fokusnya masyarakat.
Demikianlah ritual dalam perspektif sosiologi. Meskipun, pada bagian tertentu, kita kurang setuju, misalnya, dengan munculnya anggapan bahwa umat Islam memuja Hajar Aswad, karena mereka melihatnya dari sudut formal (yang terlihat), bukan dari sudut ajaran.
B. RITUAL ISLAM
Secara umum, ritual dalam Islam dapat dibedakan menjadi dua: ritual yang mempunyai dalil yang tegas dan eksplisit dalam A1¬Quran dan Sunnah; dan ritual yang tidak memiliki dalil, baik dalam Al-Quran maupun dalam Sunnah. Salah satu contoh ritual bentuk pertama adalah salat; sedangkan contoh ritual kedua adalah marhabaan, peringatan hari (bulan) kelahiran Nabi Muhammad Saw (rnuludan, Sunda), dan tahlil yang dilakukan keluarga ketika salah satu anggota keluarganya menunaikan ibadah haji atau meninggal dunia.
Selain perbedaan tersebut, ritual dalam Islam dapat ditinjau dari sudut tingkatan. Dari segi ini, ritual dalam Islam dapat dibedakan menjadi tiga: primer, sekunder, dan tertier.Ritual Islam yang primer adalah ritual yang wajib dilakukan oleh umat Islam. Umpamanya, salat wajib lima waktu dalam sehari semalam. Kewajiban ini disepakati oleh ulama karena berdasarkan ayat Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad Saw.
Ritual Islam yang sekunder adalah ibadah salat sunah, umpamanya bacaan dalam rukuk dan sujud, salat berjamaah, salat tahajud dan salat duha.
Ritual Islam yang tertier adalah ritual yang berupa anjuran dan tidak sampai pada derajat sunah. Umpamanya, dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Nasa'i dan Ibnu Hibban yang rnenyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda, "Orang yang membaca ayat kursiy setelah salat wajib, tidak akan ada yang menghalanginya untuk masuk surga. Meskipun ada hadis tersebut, ulama tidak berpendapat bahwa membaca ayat kursiy setelah salat wajib adalah sunah. Karena itu, membaca ayat kursiy setelah salat wajib hanya bersifat tahsini.
Dari sudut mukalaf, ritual Islam dapat dibedakan menjadi dua: ritual yang diwajibkan kepada setiap orang, dan ritual yang wajib kepada setiap individu tetapi pelaksanaannya dapat diwakili oleh sebagian orang.
Dari segi tujuan, ritual Islam dapat dibedakan menjadi dua pula, yaitu ritual yang bertujuan mendapatkan ridla Allah semata dan balasan yang ingin dicapai adalah kebahagiaan ukhrawi; dan ritual yang bertujuan mendapatkan balasan di dunia ini, misalnya salat istisqa, yang dilaksanakan untuk memohon kepada Allah agar berkenan menakdirkan turun hujan.
Dengan meminjam pembagian ritual menurut sosiolog (yang dalam tulisan ini diambil dari Homans), ritual dalam Islam juga dapat dibagi menjadi dua: ritual primer dan ritual sekunder.
Ritual primer adalah ritual yang merupakan kewajiban sebagai pemeluk Islam. Umpamanya, kewajiban melakukan salat Jumat bagi Muslim laki-laki. Di sebagian masyarakat Indonesia, terdapat kebiasaan salat i'adah, yaitu salat zuhur yang dilakukan secara berjamaah setelah salat Jumat.
Dalam salah satu diskusi terungkap mengenai alasan pelaksanaan i adah itu. Di antara alasan yang dikemukakan adalah bahwa dalam salat Jumat terdapat banyak syarat yang secara rinci telah dimuat dalam kitab-kitab fikih, di antaranya harus muqim (penduduk setempat) dan jumlahnya 40 orang. Menurut kiai, meskipun jumlah jamaah diyakini lebih dari empat puluh orang, tidak dapat diketahui secara pasti apakah mereka itu penduduk setempat atau musafir. Oleh karena itu, jalan aman yang ditempuh adalah salat Zuhur setelah salat Jumat untuk menutupi kemung¬kinan tidak terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat penyelenggaraan salat Jumat. Dalam kasus itu, salat Jumat berkedudukan sebagai ritual primer; dan salat Zuhur (i'adah) berkedudukan sebagai ritual sekunder.
Demikian ritual Islam dikaji dari beberapa aspek atau segi. Kajian tersebut pada dasarnya dapat dilakukan secara bervariasi sehingga tidak mungkin menutup perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, penempatan satu ritual pada posisi tertentu bisa berbeda-beda, karena ajaran dasar agama kita tidak menyebutnya secara eksplisit.
.
C. INSTITUSI ISLAM
Sistem norma dalam agama Islam bersumber dari firman Allah Swt dan Sunnah Nabi Muhammad Saw. Ia merupakan pedoman bertingkah laku masyarakat Muslim agar mereka memperoleh kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat.
Daya ikat norma dalam Islam tercermin dalam bentuk mubah, mandub, wujub, makruh dan haram. Dalam terminologi ilmu Ushul Fikh, mubah tidak mempunyai daya ikat sehingga perilaku mubah tidak mendapat sanksi. Mandub mempunyai daya ikat yang agak kuat sehingga seseorang yang menger¬jakan perilaku dalam kategori ini akan mendapat pahala. Wujub adalah perilaku yang harus dilakukan sehingga sese¬orang yang mengerjakan perilaku wujub akan mendapat pahala sedangkan yang melanggar akan mendapat sanksi. Makruh adalah tingkat norma yang memberikan sanksi kepada yang melanggarnya; dan yang tidak melanggar tidak diberi pahala. Adapun haram adalah norma yang memberikan sanksi yang sangat berat kepada pelanggar.
Institusi adalah sistem nilai dan norma. Adapun norma Islam terdapat dalam akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak. Norma akidah tercermin dalam rukun iman vang enam. Norma ibadah tercermin dalam bersuci (thaharah), salat, zakat, puasa (shaum), dan haji. Norma muamalah tercermin dalam hukum perdagangan, perserikatan, bank, asuransi, nikah, waris, perceraian, hukum pidana, dan politik. Adapun norma akhlak tercermin dalam akhlak terhadap Allah Swt dan akhlak terhadap makhluk.
Norma-norma dalam Islam yang merupakan characteristic in¬stitution, seperti yang disebutkan di atas kemudian melahirkan kelompok-kelompok asosiasi (association) tertentu yang merupa¬kan bangunan atau wujud konkret dari norma. Pembentukan asosiasi dengan landasan narma oleh masyarakat Muslim meru¬pakan upaya memenuhi kebutuhan hidup mereka, sehingga me¬reka bisa hidup dengan aman dan tenteram serta bahagia di dunia dan akhirat; karena institusi di dalam Islam adalah sistem norma yang didasarkan pada ajaran Islam, dan sengaja diadakan untuk memenuhi kebutuhan umat Islam.
Dari paparan singkat di atas, dapat dikemukan beberapa contoh institusi dalam Islam yang ada di Indonesia, seperti insti¬tusi perkawinan diasosiasikan melalui Kantor Urusan Agama (KUA) dan Peradilan Agamanya, dengan tujuan agar perkawinan dan perceraian dapat dilakukan secara tertib untuk melindungi hak keluarga, terutama perempuan; institusi pendidikan yang diasosiasikan dalam bentuk pesantren dan madrasah; institusi ekonomi yang diasosiasikan menjadi Bank Mu'amalah Indonesia (BMI), Baitul Mal Watamwil (BMT); institusi zakat yang diasosiasi¬kan menjadi Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah (BAZIS); dan institusi dakwah yang diasosiasikan menjadi Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Semua institusi yang ada di Indonesia itu bertujuan memenuhi segala kebutuhan masvarakat Muslim, baik kebutuhan fisik maupun nonfisik.
Di samping itu ada juga institusi politik yang diasosiasikan menjadi partai politik yang berasaskan Islam, seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Umat Islam (PUI). Demikianlah pembahasan kita mengenai institusi dan institusi Islam yang secara sepintas telah membedakan antara institusi dengan organisasi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comentários:
Posting Komentar